MENGENAL LEBIH DEKAT PEMIKIRAN INTELEKTUAL IRAN,ALI SYARIATI.

Oleh:Wawan G.Tanasale (Intelektual Muslim)

Diskursus intelektual Iran selalu saja membawa daya dorong tersendiri untuk kaum muda. Mulai dari peristiwa Karbala hingga Revolusi Iran 1979. Diskursus tersebut tak pernah mati dalam dinamika intelektual Iran. Pengaruh Revolusi Iran bukan saja bercokol dalam internal Iran akan tetapi dapat menembus tembok dan tapal batas teritorial geografis seantero belahan dunia.

Sejarah dunia adalah sejarah dimana penuh dengan beragam warna-warni dinamika kehidupan. Mulai dari seorang penjahat menjadi seorang pemimpin umat, seorang Nabi menjadi seorang pemimpin umat, seorang filsuf menjadi seorang pencerahan, hingga seorang pemikir yang rela mempertaruhkan nyawanya demi masa depan suatu umat. Sekiranya itulah siklus dan hukum sejarah bagi mereka yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk mengikuti jalan tersebut.

Membincangkan seorang Ali Syariati dalam panggung sejarah dan spirit pergerakan kaum muda abad 20—21 bukanlah sesuatu hal yang asing bagi mereka yang sudah terbiasa membaca literatur Revolusi Iran dan pergerakan kaum muda Iran untuk melawan dan merobohkan rezim tiranik Syah Pahlevi. Dari Mazin ke Meshad itulah perjalanan atau petualangan awal-awal sosok Ali Syariati. Ali Syariati Lahir di Mazinan, Iran Timur, pada tahun 1933.Pendidikan dasarnya diterimanya di Meshad, dan ia sudah duduk di sekolah menengah ketika ayahnya yang terpelajar, Muhammad Taqi Syariati mendirikan pusat penyebaran ajaran-ajaran Islam.

Tahun-tahun pembentukan pribadi dalam kehidupan Syariati, yang dijalaninya bersama dengan ayahnya, meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya: “Bapak saya menciptakan dimensi-dimensi mula dari semangat saya.Dialah yang pertama-tama mengajarkan kepada saya seni berpikir dan seni menjadi manusia. Dialah yang memperkenalkan saya kepada sahabatnya,yaitu “buku-bukunya”. Mereka adalah rekan-rekan saya yang tetap dan akrab sejak tahun-tahun permulaan saya belajar. Saya menjadi besar dan matang dalam perpustakaannya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya”.

Selama bertahun-tahun inilah Syariati melihat paparan usaha-usaha ayanhya yang keras, untuk membawa pemuda berpendidikan modern kembali ke pangkuan Islam, dengan menjadikan wahyu Qur’an sebagai sarana sentral untuk mengajarkan dan menjelaskan interaksi antara cita-cita Islam dan lingkungan sosial kontemporer. Bukan hanya kebetulan bahwa ayahnya dan Syariati menerima cara yang sama dalam mendapat pemaparan wahyu Islam, yang dalam hal pertama, menandai awal dari suatu sekolah khusus untuk pemahaman Qur’an, yaitu berdasarkan penyelidikan kritis tentang keadaan turunya wahyu, dan penafsiran kembali latar-belakang sejarahnya.

Ketika Syariati memasuki Akademi Pendidikan Guru, dia telah diakui sebagai anggota aktif pusat organisasi ayahnya, disini ia sering diminta untuk berbicara. Ini membuatnya berhubungan erat dengan para mahasiswa, yang kebanyakan dari mereka berasal dari masyarakat Iran lapisan ekonomi rendah. Syariati memulai karirnya sebagai guru sesudah menyelesaikan pendidikan disekolah menengah dan di Akademi Pendidikan Guru. Ia mengajar disekitar Meshad tahun 1956 selama beberapa tahun. Diikutinya program tingkat prasarjana pada Fakultas Sastra yang baru didirikan di Universitas Meshad 1956. Selama tahun-tahun itu, ia meningkatkan kesadaran keagamaan melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya yang mengesankan dikalangan peserta muda di pusat organisasi, yang ternyata juga memupuk perkembangan intelektualitas dan keagamaannya sendiri.

PARIS.

Pada 1960 Syariati memperoleh kesempatan untuk meneruskan study tingkat sarjananya di Universitas Paris.Disini dia dapat memperluas pandangannya,dan mengarahkan perhatiannya pada mazhab analitis dan kritis dari sosiolog Perancis. Tapi sesudah menyelediki karya sosiolog Perancis, Dirasakannya perlu untuk menemukan kategori yang dapat menjelaskan kenyataan sosial kehidupan kebudayaan yang berakar Islam. Keinginan untuk mewujudkan hal ini merupakan dasar bagi kecamannya terhadap metodologi yang digunakan para cendekiawan Iran dalam menganalisa masyarakat Islam yang jelas berbeda. Masalah utama dari para cendekiawan ini ialah kelalaian mereka dalam memperhitungkan risiko-risiko dari pemaksaan kategori-kategori sosial-budaya Barat dalam upayanya memahami dinamika masyarakat mereka sendiri. Umpamanya, Syariati dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan kategori waktu seperti “modern” adalah salah, bila digunakan dalam konteks suatu masyarakat Dunia Ketiga. Kesimpulan-kesimpulan yang disarikan pada pengkategorian suatu masyarakat seperti “modern”, hanya karena hal itu terjadi pada abad kedua puluh, tanpa menyelediki sejarah masyarakat dan babakan waktu ketika hal itu ditilik, akan menghasilkan suatu tesis yang keliru. Tetapi konseptualisasi fakta sosiologis Islam di Iran baru mendapat rumusan pernyataan yang tepat, sesudah ia kembali ke Iran.

Syariati kembali ke Iran pada tahun 1964, dan segera ditahan serta dipenjarakan selama enam bulan, karena dituduh turut dalam kegiatan anti-pemerintah Iran di Perancis. Sesudah dibebaskan, ia melamar menjadi dosen di Fakultas Sastra pada Universitas Teheran, tapi ia ditolak. Sesudah itu, ia mengajar pada berbagai sekolah menengah dan Akademi Pertanian, sampai tersedia jabatan dosen ilmu sejarah pada Universitas Meshad pada 1966. Dalam waktu singkat, Syariati menjadi dosen paling populer di Universitas, dan pembicara pada sebagian besar acara keagamaan yang penting, yang diselenggarakan oleh warga Universitas. Gayanya dengan baik dapat dilukiskan sebagai inovasi dalam konteks Iran, baik dalam metode maupun dalam isi. Unsur terakhir, mengakibatkan banyak kesulitan demi kesulitan baginya. Oleh karena itu ia kena tegur dari para pemimpin keagamaan karena kelemahannya menguraikan doktrin-doktrin tersebut. Syariati tidak memiliki dasar kokoh dalam ilmu-ilmu Islam, dan kesalahan-kesalahannya terlihat dalam kutipannya tentang beberapa peristiwa sejarah terkenal. Kritik-kritik tajam tentang karyanya dari beberapa orang kalangan agama yang simpatik membantunya merevisi isi ceramah-ceramahnya yang sangat berpengaruh. Pada waktu yang sama, kehadiran ayahnya, dan komunikasinya yang sering, menjadi faktor penting dalam memulas tepi-tepi kasar dari bahan ajaran Islam yang disampaikannya. Namun demikian, pendekatan sosiologis Syariati pada sejarah Islam di satu fihak, dan metode-metode mengajarnya yang bebas di fihak lain, secara bersama-sama telah membuatnya bertentangan dengan administrasi universitas. Universitas Meshad dikepalai oleh unsur-unsur konservatif dan pro-monarki, dan Syariati ternyata adalah seorang cendekiawan pribumi yang berkomitmen, dengan pengertian mendalam tentang tanggung jawab sosial dan moral, sehingga ia tampak jauh lebih radikal dan pupuler daripada yang dapat terjadi dalam konteks akademi di Iran, (John L.Esposito__Dinamika Kebangunan Islam).

Dari safari dan ceramah-ceramah Intelektual Ali Syariati itulah lahir suatu institut atau komunitas yang dikenal sebagai Husainiya yi Irsyad pada tahun 1965, suatu lembaga yang memainkan peranan sentral dalam perkembangan Syariati sebagai seorang cendekiawan dan pemikir Muslim yang mandiri. Dengan misi besar inilah membuat semua Rakyat Iran tetap berdiri kokoh untuk melawan rezim despotik bekingan Amerika Serikat, Syah Pahlevi. Semoga di era krisis kaum muda yang kritis ini lahir Syariati-syariati baru untuk terus meneriakan Kebenaran!!

[W.F.Tanasale__Pemikir Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top