HUTAN-HUTAN MALUKU DALAM CENGKERAMAN NEOLIBERALISME.

Oleh: Wawan Gifari Tanasale (Pemerhati HAM dan Demokrasi Indonesia).

Tiap kali kita berbincang tentang hutan,berarti yang berada dalam pikiran kita adalah sedang dalam sebuah ruang diskursus dan imajinasi terhadap upaya penyelamatan daripada setiap rencana eksploitasi kejahatan Neoliberalisme,yang ranah bermainnya adalah kolaborasi antar kepentingan global,kepentingan negara,dan kepentingan para elit,politisi,dan pengusaha lokal.

Sebelum jauh kita memasuki konteks atau narasi tulisan ini,hendaknya diketahui bahwa study kasusnya adalah Hutan Adat Bati.Saya uraikan beberapa instrumen hukum sebagai benteng dalam melindungi hutan adat dan masyarakat adat Bati: Bumi dan air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bunyi konstitusi dalam norma pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dengan undang-undang, (P18B UUD 1945).Hutan adat bukan hutan Negara,(Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35-2012).

Dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat,dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,selaras dengan perkembangan zaman,(UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Penegasan dalam konstitusi ini menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia diakui eksistensinya secara konstitusional. Dukungan konstitusi ini memperkuat pemahaman dan kesadaran untuk menghormati dan melindungi mereka. Jaminan konstitusi juga mengafirmasi sebuah kebijakan nasional yang benar-benar memosisikan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari kehidupan nasional,(Majda El Muhtaj_Dimensi-dimensi Ham,2008).

Harus dipahami bahwa mereka (masyarakat adat Bati) bukan “barang langka”, unik yang dilestarikan, melainkan mereka ada dan hidup berkembang sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.Karakteristik yang mereka miliki membuat domain kehidupan mereka rentan dari berbagai pelanggaran HAM.Lebih dari itu,dalam dinamika pertumbuhan pembangunan idealitas normatif acapkali berbeda secara diametral dengan realitas yang ada.

Eksistensi mereka terkesan “dipunahkan” dengan dalih modernisasi dan pembangunan. Dipastikan mereka tidak memiliki posisi tawar yang signifikan karena mereka dan lingkungannya selalu diklaim sebagai masyarakat bodoh dan terbelakang.Tidak jarang mereka teralienasi dari lingkungan hidup yang sejatinya merupakan tonggak terdepan bagi eksistensi dan masa depan mereka.Secara fakta empiris,bukan saja suku Bati yang mendapatkan perlakuan seperti ini,ada juga beberapa daerah di Indonesia,ambil contoh misalnya Mentawai di Sumatera Barat,Sarowako di Sulsel,dll,yang merupakan korban daripada eksploitasi dan diskriminasi pihak perusahaan.

Padahal dunia Internasional mengakui hak masyarakat hukum adat,sebagaimana dapat tertuang dalam Konvensi 107 Tahun 1957,perlindungan dan integrasi masyarakat adat,masyarakat kesukuan,dan semi kesukuan di Negara-negara merdeka.Konvensi Nomor 169 Tahun 1989,masyarakat kesukuan dan kesukuan di Negara-negara merdeka.

Inilah kerangka dan landasan yuridis-normatif yang dapat mengakui serta melindungi hak dan hutan masyarakat adat,khususnya hutan adat Bati,baik dari sudut pandang dunia Internasional,konstitusi maupun putusan MK No.35-2012.Tulisan ini sengaja di angkat ke permukaan,dalam konteks melihat berbagai macam persoalan yang ada di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Maluku,yang  akhir-akhir ini hutan adat mereka sedang “dijarah” oleh salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang minyak dan gas,yaitu PT. Balam Energi Limited—perusahaan asal Australia.

Secara sosio-ekonomis,hutan bagi masyarakat adat Bati adalah sesuatu yang sangat inherent pada diri mereka sejak ratusan tahun,memiliki nilai yang sangat berharga dan tidak dapat ditukar dengan apapun,selain daripada hutan itu adalah soal perebutan ruang hidup (lebensraum).

Cengkeraman Neoliberalisme

Ketika suatu tempat atau wilayah yang mempunyai korelasi dengan setiap perusahaan, di sana terdapat apa yang disebut oleh Antonio Gramsci intelektual berkebangsaan Italia, sebagai hegemoni atau dominasi suatu kelompok kekuatan terhadap kekuatan yang lain, (Negara-Sipil).

Kata Neoliberalisme maupun Liberalisme adalah dua makna yang tak bisa kita lepas pisahkan antara satu dengan yang lain atau seperti gaya lama dan gaya baru.Dalam doktrin ekonomi-politik,ruang gerak paham ini adalah kewajiban Negara menciptakan kebebasan atau persaingan bebas di tengah masyarakatnya (Leissez faire).Dari sinilah upaya perampokan dan eksploitasi dimulia dengan berbagai macam dalih kemakmuran dan kesejahteraan.

Objek sasaran Neoliberalisme dalam tinjauan Jhon Madeley, “Big Business Poor Peoples”, mengancam untuk menghancurkan segala-galanya,lingkungan (environment), peradaban manusia (human civilization), martabat manusia (human dignity),kebudayaan (human cultures),pemerintahan kerakyatan (democracy), dan kedaulatan negara (state sovereignty).Akarnya adalah ketamakan segelintir orang (greeg of the few).

Korbannya adalah mayoritas masyarakat miskin di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.Pemain utamanya adalah negara-negara industri maju. Instrumen yang mereka gunakan adalah lembaga-lembaga keuangan Internasional (Bank Dunia dan IMF) dan WTO. Pelaksana-pelaksana lapangannya adalah perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations/TNCs) dengan credo kompetisi dan pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas. Kesejahteraan manusia di ukur hanya oleh pertumbuhan ekonomi dan konsumsi.

Itulah sekilas gambaran tentang motif dan fenomena Neoliberalisme yang selama ini merongrong setiap tempat dan SDA, yang diuraikan secara gamblang dan turut membantu kita dalam mengenal lebih dekat jejak Neoliberalisme oleh Jhon Medeley, seorang penulis sembilan buku serta penyiar yang memiliki spesialisasi dalam isu-isu pembangunan selama lebih dari tiga puluh tahun.

Dimana Posisi DPRD SBT?

Kedudukan DPR dan DPRD dalam struktur ketatanegaraan dan konstitusi kita adalah merupakan bagian daripada trias politica, kemudian sebagai sebuah lembaga yang dimandatkan untuk merancang dan merumuskan undang-undang bersama, baik presiden maupun kepala daerah.Dalam perspektif UU 32-2004, UU RI Nomor 27 Tahun 2009, dan UU Nomor 17-2014, peran dan posisi anggota DPRD sangatlah penting. Misalnya dalam pasal 366 UUMD3, dalam pasal 1(satu) huruf a, dengan tegas memerintahkan agar DPRD dan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah.

Ketika melihat antara perintah UU dan implementasi secara kenyataan, DPRD kita agak kewalahan. Entah kewalahan tidak tahu menahu dalam proses merumuskan produk hukum daerah, ataukah mereka sengaja tidak membuatnya, agar segala kepentingan terselubung mereka berjalan secara mulus. Begitupun dalam norma pasal 371 tentang hak para anggota DPRD, salah satu perintah yang sangat penting juga adalah interpelasi.

Hak Interpelasi yang dimiliki oleh DPRD adalah untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tafsir apakah yang digunakan oleh para anggota DPRD dalam memahami kontekstualisasi daripada pasal-pasal tersebut, tafsir sistematis, yuridis, hermeneutik, atau apa, jika para anggota DPRD kita tidak mampu melaksanakan perintah UU tersebut, maka wajar kalau ada dugaan dari masyarakat kita, para anggota DPRD tidak memahami dengan baik dan jernih perintah UU tersebut. Atau mereka berdalih pada soal proses pembuatan Perda, yang mesti memiliki kualifikasi aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Perda adalah suatu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD membentuk Perda bertalian dengan wewenang DPRD di bidang legislatif atau yang secara tidak langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif, (Ni’matul Huda, 2009).

Didalam UU No. 32 Tahun 2004, ada beberapa poin tentang standar pembentukan Perda, di antaranya adalah, Perda mesti ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan,dan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda.

Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh sekretariat DPRD.

Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur, atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah. Dalam membentuk peraturan daerah baik yang di atur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 137, harus berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi,kejelasan tujuan, kelembagaan atau pembentuk yang tepat,kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayaguaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Semuanya sudah jelas secara terang-benderang, tergantung daripada keinginan dan kemauan para anggota DPRD kita di daerah, sejauh mana mereka mengenal dan memahami tugas, fungsi, dan hak konstitusionalnya untuk meluruskan kinerja-kinerja pemerintah daerah yang cenderung miring.

Melihat fenomena ini menggeser cara berfikir kita untuk melihat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hutan adat dan masyarakat adat di Kabupaten SBT, bisa dibilang hampir sepi daripada suara dan campur tangan para politisi dan anggota DPRD di Kabupaten SBT, yang lebih khusus adalah hutan adat masyarakat Bati.

Pada beberapa bulan yang lalu dalam 2022 ini, sekelompok aktivis kemanusiaan dan hutan adat Bati sudah berupaya berjuang dengan energi yang mereka miliki, akan tetapi walhasil belum mendapatkan suatu titik terang, baik dari pemerintah daerah maupun perusahaan bersangkutan. Terakhir dari warga masyarakat Bati bertemu secara langsung dengan pak Bupati Mukti Keliobas di pendopo untuk mempertanyakan eksistensi daripada perusahaan bersangkutan, pun sampai saat ini belum mendapatkan titik terang.

Berangkat dari spirit otonomi daerah, reformasi, dan konsolidasi demokrasi pasca orde baru, mestinya para anggota DPRD di daerah berperan aktif dalam mengawal hutan dan masyarakat adat Bati yang di mana sedang berhadapan dengan para penambang atau perusahaan yang tidak jelas identitasnya. Bukan malah diam dan bersikap skeptis, seolah tidak ada masalah yang menimpa masyarakat adat bati dan hutannya.

Seorang anggota DPRD adalah memegang teguh terhadap perintah UU dan asas demokrasi substansial, bukan menjadi robot apalagi pesuruh pemerintah daerah, yang berakibat pada tumpulnya taring daripada sebuah lembaga yang dalam prinsip Check and Balance sangat menentukan segala kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis di daerah.

Kalau para anggota DPRD tidak mampu memperjuangkan suatu Perda untuk melindungi hutan dan masyarakat adat Bati, patut dipertanyakan kapasitasnya sebagai seorang legislator. DPRD dalam sumpahnya memegang teguh amanat UUD dan Pancasila, bersumpah atas nama Allah Swt, dan kalau dia melanggar sumpahnya, maka dia telah menjadi pengkhianat yang nyata bagi masyarakatnya sendiri. Siapa menguasai Tanah, dia menguasai ruang hidup, demikian bunyi sebuah pepatah tentang agraria. Selamatkan Hutan adat Bati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top